Kamis, 28 Oktober 2010

Kisah Sepanjang Jalan

0 komentar
Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak�c". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal�c

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.

Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.

Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.

Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini�c" bisikku perlahan.

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.

Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.

Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.

Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.

Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...

Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.

***
Sumber: http://cerpenislami.blogspot.com/

Selasa, 26 Oktober 2010

Robohnya Surau Kami

0 komentar
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
 SELENGKAPNYA DOWNLOAD DISINI

AYAT - AYAT CINTA EMAK

0 komentar

Persembahan Terbaik Lomba Cerpen Islami, dalam Islamic Days UKKI 2010

 Oleh : Dian Nur Hidayah
“ lek..emak kok gak pernah mendengarmu mengaji?” Tanya Emak suatu saat, saat aku sarapan sebelum berangkat ke kampus seperti biasa
Aku menghembuskan nafas pelan, malas sekali menjawabnya.
“ Emak kan tau alasannya” jawabku asal sembari memasukkan sepotong tempe goreng ke dalam mulutku.
“ apa iya…kuliahmu itu ngajarin kamu jauh dari Tuhan? Masa baca Al-qur’an saja jadi malas..?”
Aku meneguk air putih hangatku dengan enggan. Rasanya kesal mendengar pertanyaan emak yang selalu saja sama tentang itu, sering kali dan tak pernah berubah.
“ Emak..?! sekarang itu yang penting konteksnya. Cuma ngaji saja gak kan cukup..kapan kita mau maju kalau begitu? Yaa kalau diamalkan? Kalau gak? Kan sia-sia saja….lagian kayak tau artinya saja dibaca terus..???
“ astaghfirulloh..eling Nak..istighfar..!! kata siapa mengaji itu gak ada gunanya? Cara kita mendekat sama Gusti pangeran ya dengan mengaji itu…kita itu gak ada apa-apanya dibanding Tuhan lek..!!jangan takabur! Qur’an kitab suci kita…bisa-bisanya kamu menyepelekan seperti itu…mau jadi apa kamu nanti?? Kalau begitu..mendingan kamu gak usah kuliah…tambah pinter malah tambah nyeleneh..”
Aku mendenguskan nafasku…tak ingin meneruskan perdebatan dengan Emak,takut-takut malah menyakitinya. Biarlah pola pikir kita yang berbeda. Bagaimanapun itu hanya gertakan emak. Dulu emak yang merongrongku untuk kuliah karena setelah lulus SMA awalnya aku ingin bekerja saja membantu emak yang sendiri tanpa bapak, menghidupi aku dan adikku yang autisme. Tapi emak melarang, ingin aku jadi sarjana agar nantinya hidupku mapan, lebih baik dari orang tuaku. Tidak mungkin hanya karena sekarang pola pikirku yang sedikit menyimpang darinya, dia memaksaku keluar dari bangku kuliah. Biar emak kecewa, bagaimanapun aku tahu yang terbaik buat diriku.

###

Sayup-sayup terdengar suara serak emak melantunkan ayat suci al-qur’an dari dalam rumah kami yang bertembok kayu dan mulai banyak berlubang dimakan rayap. Aku menjejakkan kakiku yang letih dengan gontai memasuki rumah, kemudian menjatuhkan diri di atas kursi rotan yang sama sekali tidak empuk untuk sekedar menghilangkan sedikit penatku. Jam usang berdebu yang bertengger di dinding dekat fotho keluarga yang juga tak kalah kotornya menunjukkan angka 6 lebih 25 menit. Sudah jadi kegiatan rutin emak seusai maghrib mengaji sendiri di rumah. Adikku pasti sedang di langgar mengaji dengan Bang Roqib, kyai muda di komplek rumahku. Meski autis dan berbeda dengan anak normal lainnya adikku masih dianugerahi Tuhan mau dan bisa membaca al-quran. Aku yakin Bang roqib harus sangat sabar menghadapinya karena itulah emak sangat berterimakasih padanya dan sering menjamunya di rumah. Karena memang aku,anak laki-laki pertamanya yang sibuk di kampus dan kerja sambilan tak kan pernah sempat dan mau mengajari adikku yang tidak normal itu membaca al-qur’an. Aku teringat saat masih seumuran adikku, umur 8 tahun senang sekali menenteng Qur’an ke langgar sehabis maghrib. Puas bersorak saat aku berhasil menghafal setengah dari jus 30. tapi sekarang? Aku saja lupa kapan terakhir aku memegang Al-qur’an..hafalanku saja sudah raib entah kemana. Ahh..untuk apa? Fikirku. Mengaji tidak akan membuatku kaya atau makmur. Nyatanya rumahku masih seperti ini sejak kau kecil. Bapakku yang meninggal sejak aku SMP tidak meninggalkan warisan apa-apa untuk kami. Sekarang, aku tetaplah mahasiswa yang terlunta-luanta mempertahankan bangku kuliahku diiringi keringat dan darah emak. Mengaji tidak akan membuatku jadi lebih baik. Karenanya aku malas..
“ lho..sudah pulang lek..?” pertanyaan dari bibir emak yang bergetar dan kering membuyarkan lamunanku. Ia berdiri di pintu kamarnya yang berkorden usang, memandangku denagn lembutnya.
“ sudah shalat maghrib?”
“ sudah mak..” sahutku sembari beranjak menuju kamar di sis \i kamar emak, rasanya lelah sekali. Sebelum emak memberobdongku dengan banyak pertanyaan lebih baik aku melarikan diri tidur di kamarku.
“sudah makan belum? Itu ada makanan di dapur kalau belum..” kata emak lagi. Meski aku cuek, dia tetap dengan pola kasihnya.
“sudah ko mak..” jawabku lagi sambil lalu ke dalam kamarku dan menutupnya hingga suara emak tenggelam di balik pintu.
Bukan. Bukan aku tak mau berbicara banyak dan tidak ingin menggubris perhatian emak sepertinya memang aku sudah jarang berkomunikasi denagn satu-satunya orang tuaku yang paling berjasa dan penuh cinta itu. Tapi aku memang sengaja. Banyak idealismeku yang kini bertolak belakang denagn emak dan hanya akan menimbulkan percek-cokan tang tidak berujung. Emak sangat religius dan aku lebih bersikap liberal. Aku sayang padanya, karena itu menghindari yang akan membuatnya semakin kecewa padaku. Emak memendam begitu banyak kekecewaan, tapi dia lebioh banyak diam dan tahu batasan untk tidak menuntutku. Dia mengerti.
Dari dalam kamar, antara sadar dan tidak karena kantuk, lagi-lagi lantunan ayat suci itu terdengar dari kamar emak.

###
“, Bang…aku mau ikut lomba tilawah qur’an…” Suara cempreng dan terbata-bata adikku menggangguku yang sedang mengetik tugas kuliahku dengan komputer butut di dalam kamar. Adikku duduk disisi ranjangku dengan lollipop murahan di tangannya dan senyum mengembang, memamerkan giginya yang kotor dan jarang-jarang. Aku tetap saja serius dengan layar komputerku, tak perduli dengannya.
“ Bang..!!” dia menuntutku.
Aku menghela nafas kesal “ iya..!”ujarku sekenanya tanpa menoleh.
Melihatku yang acuh, tanpa ekspresi. Diapun beranjak pergi keluar kamarku yang kemudian disusul kemunculan emak di ambang pintu yang berderak-derak hampir rusak.
“ kamu itu ya..??heran emak sama kamu, masa begitu cueknya sama adik…?”hanya itu yang emak ucapkan sembari memeluk adik autisku yang meringkuk manja di pinggangnya. Kutangkap kedalaman makna dari sindiran halusnya, kekecewaan pada keacuhanku. Kalau adikku ikut lomba sains, IPA, Matematika, membuat robot, atau apa untuk kemajuan bangsa dan menghasilkan banyak uang pasti aku senang dan mendukung, tapi ini hanya tilawah Qur’an, itu sepele dan tak membuatku tertarik. Bukan salahku kalau aku acuh, toh aku tak bisa membayangkan adikku membaca Al-qu’an, seperti apa jadinya.

###
Emak sakit, sudah beberapa hari semakin kurus dan sepertinya penyakitnya semakin parah. Tapi dia masih saja melantunkan ayat suci Al-qur’annya walaupun kadang suaranya terdengar sangat lemah dan patah-patah.
“ tidak ada yang bias membuat emak tenang..selalu pasrah pada ketentuan ALLAh selain dengan membaca Qur’an lek…” tukasnya ketika kau menyuruh berhenti membaca agar ia beristirahat.
Bahkan emak pun memintaku membacakan untuknya, meski enggan tapi aku tetap menurutinya. Ntah kenapa akhir-akhir ini aku begitu takut kehilangan emak, aku takut emak menyusul bapak. Tidak! Aku tidak akan siap.
“ lek… suaramu bagus..enak kalo membaca Al-qur’an.. tapi kok kamu gak pernmah mau membaca lagi to..??? apa kamu sudah merasa cukup dengan ilmu-ilmu dari kuliahmu itu?? Emak gak pengen kamu jadi presiden atau ilmuwan nak…cukup kamu mapan, juga solekh..emak sudah bangga..biar bias jadi celengan emak di syurga”
Emak mengelus rambutku yang cak-acakan. Aku tertunduk, tak mampu berkata apa-apa atau mendebatnya seperti biasa. Bibirku terasa kelu, kata-katanya benar-benar membuatku semakin takut. Adikku berbaring disisi emak, tangannya memeluk tubuh kurus emak dengan erat seolah tak ingin melepasnya sedetik saja. Ku rasa dia merasakan hal yang sama denganku. Ingin rasanya aku membawa emak keRS untuk berobat hingga sembuh tapi lagi-lagi biaya jadi kendala.
“ kita tak perlu muluk-muluk untuk mendekat pada Allah..tidak perlu tau artinya dulu sebelum membaca Qur’an..kepintaran kita itu seberapa to lek..?? kuasaNYa juga seberapa..?? gak perlu ngoyo mengamalkan semuanya..yang penting usaha sedikit-sedikit..dibaca dengan ikhlas..gak mengaharapka apa-apa selain kedekatan dengan Allah..insyaAllah gak ada yang sia-sia. Wong Allah tau maksud kita itu apa sebelum kita memberi tahu-Nya”
Aku menjatuhkan kepalau di atas tangan tirus pucat emak, menciumnya dengan takzdim..ketakuatan itu semakin mengerogoti dadaku..dan tanpa sadar aku meneteskan beberapa butir air mata.

###
1 bulan semenjak emak terbaring lemah… aku dan adikku benar-benar kehilangan dia. Sepulang kuliah dan kerja sambilan, dengan badan yang masih letih, adikku menarikku cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Ia menangis keras sembari menunjuk sosok emak yang terkulai kaku diatas dipannya. Emak masih memeluk Qur’an yang usang karena terlalu sering ia baca di atas dada kurusnya yang sudah tak naik-turun seiring dengan nafasnya yang sudah berhenti. Aku gemetar mendekat, mengambil kitab suci itu dari tangannya yang dingin dan memeluknya dengan tangis tanpa suara. Aku mencium keningnya yang halus dan terdapat bekas hitam karena seringnya ia bersujud. Emak yang kuat dan begitu sering tanpa lelah mengenalkannku pada Tuhan,akhirnya di panggil-Nya. Dengan suara serak karena kerongkonganku terasa tercekik aku mengajak adikku mengambil wudhu dan membacakan surat Yassin, mengantar kepergian emak. Bagaimanapun sebagai anak tertua aku harus kuat dan menguatkan adikku yang terus menangis dengan kepolosannya. Hatiku terasa tertetesi embun ketika aku membaca ayat demi ayat seolah kepergian emak bukanlah ambang dari kehancuraku yang kini sendiri dengan adikku, aku merasa dekat dengan-Nya. Inilah hal sederhana yang selalu emak tegaskan padaku, membaca ayat cinta Tuhan bagaimanapun hidup ini akan diatur-Nya. Mulai detik semenjak aku sadar akan setiap nasehat indah yang selau kuacuhkan…aku akan berjanji melaksanakannya..mengikuti setiap kata emak untuk mencintai Al-qur’an karena memang tak ada yang membuatku tenang selain itu.

DOWNLOAD NOVEL GRATIS

1 komentar

Ayah, Maaf kan Dita....

0 komentar
Sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini !!!” …. Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar.. Dia juga beristighfar. . Mukanya merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘ Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “DIta yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik …. kan !” katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali2 ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.
Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.. Pembantu rumah terbengong, tdk tahu hrs berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air.. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, Bu”…jawab pembantunya ringkas. “Kasih minum panadol aja ,” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Ditadalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhubadan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan..” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut…”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikanterkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam lina ngan air mata. “Ayah.. ibu… Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah.. sayang ibu.”, katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
“Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?…. Bagaimana Dita mau bermain nanti?…. Dita janji tdk akan mencoret2 mobil lagi, ” katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung2 dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…
Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…, Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..

Sumber: http://achmadarifin.wordpress.com

Senin, 25 Oktober 2010

Cinta Laki - Laki Biasa

0 komentar
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -

Minggu, 24 Oktober 2010

40 Tahun Berbuat Dosa

0 komentar
Dalam sebuah riwayat dijelaskan, bahwa pada zaman Nabi Musa as, kaum bani Israil pernah ditimpa musim kemarau panjang, lalu mereka berkumpul menemui Nabi Musa as dan berkata: "Wahai Kalamullah, tolonglah doakan kami kepada Tuhanmu supaya Dia berkenan menurunkan hujan untuk kami!"
Kemudian berdirilah Nabi Musa as bersama kaumnya dan mereka bersama-sama berangkat menuju ke tanah lapang. Dalam suatu pendapat dikatakan bahwa jumlah mereka pada waktu itu lebih kurang tujuh puluh ribu orang.
Setelah mereka sampai ke tempat yang dituju, maka Nabi Musa as mulai berdoa. Diantara isi doanya itu ialah: "Tuhanku, siramlah kami dengan air hujan-Mu, taburkanlah kepada kami rahmat-Mu dan kasihanilah kami terutama bagi anak-anak kecil yang masih menyusu, hewan ternak yang memerlukan rumput dan orang-orang tua yang sudah bongkok. Sebagaimana yang kami saksikan pada saat ini, langit sangat cerah dan matahari semakin panas.
Tuhanku, jika seandainya Engkau tidak lagi menganggap kedudukanku sebagai Nabi-Mu, maka aku mengharapkan keberkatan Nabi yang ummi yaitu Muhammad SAW yang akan Engkau utus untuk Nabi akhir zaman.
Kepada Nabi Musa as Allah menurunkan wahyu-Nya yang isinya: "Aku tidak pernah merendahkan kedudukanmu di sisi-Ku, sesungguhnya di sisi-Ku kamu mempunyai kedudukan yang tinggi. Akan tetapi bersama denganmu ini ada orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan maksiat selama empat puluh tahun. Engkau boleh memanggilnya supaya ia keluar dari kumpulan orang-orang yang hadir di tempat ini! Orang itulah sebagai penyebab terhalangnya turun hujan untuk kamu semuanya."
Nabi Musa kembali berkata: "Wahai Tuhanku, aku adalah hamba-Mu yang lemah, suaraku juga lemah, apakah mungkin suaraku ini akan dapat didengarnya, sedangkan jumlah mereka lebih dari tujuh puluh ribu orang?" Allah berfirman: "Wahai Musa, kamulah yang memanggil dan Aku-lah yang akan menyampaikannya kepada mereka!."
Menuruti apa yang diperintahkan oleh Allah, maka Nabi Musa as segera berdiri dan berseru kepada kaumnya: "Wahai seorang hamba yang durhaka yang secara terang-terangan melakukannya bahkan lamanya sebanyak empat puluh tahun, keluarlah kamu dari rombongan kami ini, karena kamulah, hujan tidak diturunkan oleh Allah kepada kami semuanya!"
Mendengar seruan dari Nabi Musa as itu, maka orang yang durhaka itu berdiri sambil melihat kekanan kekiri. Akan tetapi, dia tidak melihat seorangpun yang keluar dari rombongan itu. Dengan demikian tahulah dia bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi Musa as itu adalah dirinya sendiri. Di dalam hatinya berkata: "Jika aku keluar dari rombongan ini, niscaya akan terbukalah segala kejahatan yang telah aku lakukan selama ini terhadap kaum bani Israil, akan tetapi bila aku tetap bertahan untuk tetap duduk bersama mereka, pasti hujan tidak akan diturunkan oleh Allah SWT."
Setelah berkata demikian dalam hatinya, lelaki itu lalu menyembunyikan kepalanya di sebalik bajunya dan menyesali segala perbuatan yang telah dilakukannya sambil berdoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah durhaka kepada-Mu selama lebih empat puluh tahun, walaupun demikian Engkau masih memberikan kesempatan kepadaku dan sekarang aku datang kepada-Mu dengan ketaatan maka terimalah taubatku ini."
Beberapa saat selepas itu, kelihatanlah awan yang bergumpalan di langit, seiring dengan itu hujanpun turun dengan lebatnya bagaikan ditumpahkan dari atas langit.
Melihat keadaan demikian maka Nabi Musa as berkata: "Tuhanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami, bukankah di antara kami tidak ada seorangpun yang keluar serta mengakui akan dosa yang dilakukannya?"
Allah berfirman: "Wahai Musa, aku menurunkan hujan ini juga di sebabkan oleh orang yang dahulunya sebagai sebab Aku tidak menurunkan hujan kepada kamu."
Nabi Musa berkata: "Tuhanku, lihatkanlah kepadaku siapa sebenarnya hamba-Mu yang taat itu?"
Allah berfirman: "Wahai Musa, dulu ketika dia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka aibnya. Apakah sekarang. Aku akan membuka aibnya itu ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat benci kepada orang yang suka mengadu. Apakah sekarang Aku harus menjadi pengadu?"
(Dikutip dari buku: "1001 Keinsafan "Kisah-kisah Insan Bertaubat. Oleh: Kasmuri Selamat M A)
(SELESAI)

By. Kak Rico

Abu Nawas Mendemo Tuan Kadi

0 komentar
Pada suatu sore, ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya. Ada dua orang tamu datang ke rumahnya. Yang seorang adalah wanita tua penjual kahwa, sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan Mesir.
Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si pemuda Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas menyuruh murid-muridnya menutup kitab mereka.
"Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta batu."
Murid-murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu Nawas. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan berada di pihak yang benar.
Pada malam harimya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa peralatan yang diminta oleh Abu Nawas.
Berkata Abu Nawas,"Hai kalian semua! Pergilah malam hari ini untuk merusak Tuan Kadi yang baru jadi."
"Hah? Merusak rumah Tuan Kadi?" gumam semua muridnya keheranan.
"Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini!" kata Abu Nawas menghapus keraguan murid-muridnya. Barangsiapa yang mencegahmu, jangan kau perdulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barangsiapa yang hendak melempar kalian, maka pukullah mereka dan iemparilah dengan batu."
Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah Tuan Kadi. Laksana demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi. Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakukan mereka. Lebih-lebih ketikatanpa basa-basi lagi mereka iangsung merusak rumah Tua Kadi. Orang-orang
kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah murid-murid Abu Nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani mencegah.
Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan bertanya,"Siapa yang menyuruh kalian merusak rumahku?"
Murid-murid itu menjawab,"Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami!"
Habis menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah.
Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak orang yang berani membelanya "Dasar Abu Nawas provokator, orang gila! Besok pagi aku akan melaporkannya kepada Baginda."
Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu Nawas dipanggil menghadap Baginda.
Setelah Abu Nawas menghadap Baginda, ia ditanya. "Hai Abu Nawas apa sebabnya kau merusak rumah Kadi itu"
Abu Nawas menjawab,"Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada sliatu malam hamba bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya.
Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus lagi.Ya, karena mimpi itu maka hamba merusak rumah Tuan Kadi."
Baginda berkata," Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?"
Dengan tenang Abu Nawas menjawab,"Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi yang baru ini Tuanku."

Mendengar perkataan Abu Nawas seketika wajah Tuan Kadi menjadi pucat. la terdiam seribu bahasa.
"Hai Kadi benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?" tanya Baginda.
Tapi Tuan Kadi tiada menjawab, wajahnya nampak pucat, tubuhnya gemetaran karena takut.
"Abu Nawas! Jangan membuatku pusing! Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini !" perintah Baginda.
"Baiklah ...... "Abu Nawas tetap tenang. "Baginda.... beberapa hari yang lalu ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar (mas kawin) sekian banyak. Ini hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda Mesir itu tak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Nah, di sinilah
terlihat arogansi Tuan Kadi, ia ternyata merampas semua harta benda milik pemuda Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa."
Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya seratus persen, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si pemuda Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke hadapan Baginda.
Berkata Baginda Raja,"Hai anak Mesir ceritakanlah hal-ihwal dirimu sejak engkau datang ke negeri ini."

Ternyata cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Abu Nawas. Bahkan pemuda itu juga membawa saksi yaitu Pak Tua pemilik tempat kost dia menginap. "Kurang ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejad moralnya."
Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya dirampas dan diberikan kepada si pemuda Mesir.
Setelah perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Abu Nawas pulang ke rumahnya. Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas.
Berkata Abu Nawas,"Janganlah engkau memberiku barang sesuatupun kepadaku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun jua."
Pemuda Mesir itu betul-betul mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas itu kepada penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.

(SELESAI)

By. Dongeng Kak Rico

Sang Pembalik Sandal

0 komentar
Perempuan itu datang lagi ke masjid. Seperti biasa, dia selalu dikucilkan dan selalu berada di shaf paling belakang. Seolah-olah perempuan itu sebuah benda najis yang harus dijauhi, tak boleh bersentuhan dengan yang lain. Padahal seperti jamaah jamaah perempuan lainnya, dia dalam keadaan suci. Tidak haid dan tidak pula sedang junub. Para jamaah yang lain seakan akan memiliki hak sekaligus kewajiban untuk membenci perempuan cantik yang berusia tigapuluh lima itu dan sebisa mungkin menjauhi perempuan itu karena satu alasan: perempuan itu dulunya bekerja menyewakan tubuhnya yang aduhai….

Hari ini adalah tujuh hari setelah dia absen tak berjamaah di masjid. Seperti juga perempuan lain, dia baru saja kedatangan tamu bulanannya. Jadi bukan karena jera dikucilkan oleh jamaah lain yang kata-katanya sempat membuat kuping yang mendengarnya menjadi merah padam.
Maka setelah sholat dilaksanakan, para jamaah perempuan semakin nyaring gunjingannya.

“Apa kataku… perempuan itu cuma mau mengelabuhi kita. Cuma mau cari muka di depan pak Soleh.” Ucap seorang perempuan.

“Iya, baru beberapa hari ke masjid saja, sudah absen. Sekarang datang lagi.” Teriak perempuan yang lain yang lupa kalau sedang kedatangan tamupun dia juga tak akan pergi ke masjid.

“Ya wajarlah… kalau ordernya lagi sepi, dia kan mulai sadar.”

“Betul… dasar perempuan gituan!!”

“Aneh juga dengan pak Soleh. Masih saja membela wanita itu.”

Dan ternyata Pak Soleh mendengar gunjingan para perempuan itu. “Saya ingatkan lagi pada ibu ibu ya…. Jangan suka menggunjingkan orang lain!”

Para ibu ibu itu hanya diam.

“Kenapa mesti menghalangi orang yang mau bertobat? Allah sendiri Maha Penerima taubat hambanya yang benar benar mau bertaubat.”

Mereka hanya diam. Ada beberapa ibu-ibu yang menunjukkan mimik wajah tak suka.

“Baru saja kemarin saya berceramah, janganlah mengolok olok orang lain. Bisa jadi yang mengolok olok lebih jelek dari yang kita olok olok.”

Para ibu ibu itu tetap saja mematung. Kebencian semakin mencuat karena mantan pelacur ini selalu dibela oleh Pak Soleh.

####

Tepat berkumandang azan subuh, perempuan itu datang lagi. Seperti biasa dia selalu menyendiri di shaf paling belakang. Tekad dan niat yang dimilikinya sudah bulat dan tak bisa dipadamkan sekalipun gunjingan dari warga lain terutama para ibu ibu semakin nyaring dan semakin kejam. Saat pulang dari sholat subuh, ditengah perjalanan pulang, para ibu ibu itu mencegatnya.

“Hei! Perempuan! Belum kapok juga ya?”

Seperti kemarin kemarin perempuan itu hanya diam membisu.

“Beraninya cuma berlindung dibalik punggung Pak Soleh!”

Kedua mata perempuan itu mulai berkaca kaca. Dalam hatinya dia ingin sekali memberontak, ‘beraninya cuman main keroyokan!’. Tapi itu tak sempat diucapkannya, cuma menderas dalam hati saja.

“Eh… pake nangis segala…. Air mata buaya!!!”

Perempuan itu memberanikan diri menatap satu per satu wajah mereka.

“Ini peringatan terakhir buatmu. Sekali lagi jangan kau masuki masjid kami hai wanita najis. Cuih….!”
Kata salah satu ibu ibu dengan membuang air ludah didepan perempuan itu.

“Jangan diam saja. Berjanji pada kami!”

“Ya, kalau kamu nekat, kami tak segan-segan membakar rumahmu. Mengerti!!!”

Mendengar ancaman yang terakhir, perempuan itu bergidik. Ternyata mereka tak main main.

Perempuan itu segera mengucapkan janjinya, “Ya… aku janji aku tak akan memasuki masjid kalian lagi.”

“Bagus! Kau sendiri yang berjanji.”

Mereka akhirnya membubarkan diri pulang ke rumah masing masing meninggalkan perempuan itu yang mulai menitik air matanya. Begitu berat cobaan yang dihadapinya untuk menuju tobat.

####

Keesokan harinya, saat berkumandang azan subuh, perempuan itu bergegas mengambil air wudhu. Kalau kemarin dia masih memberanikan diri untuk berangkat ke masjid, tapi tidak kali ini. Semalam dia sudah memikirkan janji yang sudah diucapkannya di hadapan para ibu ibu itu. Kata kata itu selalu terngiang ngiang di telinganya. ‘Aku tak akan lagi memasuki di masjid kalian.’ Ini tidak berlaku kalau diluar masjid kan? Perempuan itu terus memikirkan cara, bagaimana supaya dia tetap bisa berbuat baik yang bisa dilakukannya diluar masjid.

Setelah mengambil air wudhu, dia tak langsung menunaikan sholat, tapi dia mengintip dari balik jendela rumahnya, orang yang lalu lalang menuju masjid. Saat iqomah diserukan, perempuan itu mengendan-endap pelan-pelan melangkahkan kakinya ke masjid. Perempuan itu tidak membawa peralatan sholat. Dan dia pun tak hendak mengingkari janjinya.

Ketika sampai di halaman masjid, perempuan itu mengatur langkahnya agar kehadirannya tidak diketahui oleh siapapun. Dan saat itu sangat sepi, para jamaah khusyuk melakukan sholat subuh, Perempuan itu melakukan sesuatu yang siapapun tak akan menduga. Dia membalik setiap sandal yang ada di masjid dengan harapan pemiliknya akan mudah memakainya sewaktu pulang nanti. Dengan tulus perempuan itu membalik semua sandal karena dia yakin ada pahala disetiap kemanfaatan bagi orang lain.


By. Renungan & Kisah Inspiratif

Menari di Langit GAZA

0 komentar
“Salim! Lari......lari.......” aku berteriak memangil-manggil Salim adikku yang tertinggal di belakangku. Di belakang Salim tampak dua orang tentara Israel memburu dengan marah, seraya mengarahkan senjatanya ke arah kami.
Salim berdiri membelakangiku tanpa menghiraukan perintah yang tadi kuteriakan. Ia menghadang kedua tentara itu dengan nafas yang setengah memburu. Tangannya mengepal memegang batu dan kerikil. Ia menunggu, seperti menghitung jarak tembak kekuatan lemparan tangannya.
“Lari.... Salim! Lari......” aku kembali berteriak. Hatiku semakin cemas. Kedua tentara itu semakin mendekat. Salim melemparkan batu di tangannya.
Buuukk!
Tepat mengenai pelipis salah satu tentara. Darah mengalir bercampur keringat dipipinya yang kian menghitam karena sengatan mentari yang mendera. Ia menyeringai marah, moncong senjata langsung diarahkan ke Salim.
“ Tidak........”
Dooorrrr.....! sebuah senapan mengutus peluru berbalut maut merobek udara panas disiang ini. Salim terhempas kehamparan pasir lembut ditingkahi debu yang menyeruak keudara seiring tubuh Salim yang ambruk kebumi. Luka mengnganga disertai asap putih  tipis mengepul di dada Salim yang terkoyak membuat tubuhku gemetar memandang seonggok tubuh penuh darah yang hanya beberapa meter dari tempatku berdiri.
Tubuh Salim meregang hebat, matanya membulat seolah ingin lepas dari jeratan saraf-saraf tubuhnya. Ia seperti merasakan sakit yang sangat. Detik kemudian ia sudah lunglai tak bergerak. Mungkin Malaikat maut sudah selesai melaksanakan titah Tuhannya, menjemput kekasihnya untuk dikumpulkan di tempat yang sangat indah bersama para syuhada.
“Itu satu lagi...” tunjuk seorang tentara Israel pada temannya yang baru selesai meniup asap yang mengepul angkuh dari moncong senjata. Tentara itu mengarahkan moncong senjatanya yang sombong kearahku. Tubuhku semakin gemetar. Rasanya kaki ini seperti tak menginjak bumi. Apakah aku juga akan mati seperti Salim adikku?
“Tidak usah kau tembak dia....” Cegah tentara yang tadi menembak Salim adikku, seraya menurun laras senjata temannya.
“Tapi dia juga patut mati.....” ia bersekeras.
“Tidak perlu kau menembaknya. Coba lihat!” Tentara itu menunjukku dengan dagunya “dia sudah gemetaran, celananya sudah basah, kencing dicelana karena ketakutan.....”
Hah...kencing. Aku melihat ke bawah. Ya Allah. Ternyata benar celanaku sudah basah. Kencing tanpa sadar karena dicekam ketakutan.
Kedua tentara itu kemudian mentertawakan aku dengan sinis. Tubuhku semakin bergetar. Tak mampu menguasai keadaan.
“Kita tak perlu menembaknya, buang-buang peluru. Mungkin ia akan mati dengan sendirinya karena ketakutan......” lanjut tentara itu lagi mengajak temannya berbalik meninggalkanku “ Lebih baik kita kembali ke Camp. Perburuan hari ini sudah cukup. Dan komandan kita pasti senang mengdengar laporan kita.....”
Masih sempat kudengar pembicaraan mereka yang sayup-sayup terbawa angin. Ah. Ternyata kami dianggap tak lebih bagai binatang buruan, yang kapan saja bisa mereka buru dan tembaki.
Kudekati tubuh adikku yang diam membeku dengan simbahan yang mempekat disisi tubuhnya. Seharusnya aku bisa lebih tenang dengan kepergian dua tentara Israel itu. Tapi tidak. Aku justru semakin gemetar. Kepalaku terasa pening dan berkunang melihat genangan darah yang membanjir. Ah, tidak, aku takut melihat darah, sungguh takut. Aku tak tahu kenapa. Bagiku sangat mengerikan. Aku tak seperti laki-laki Palestina lainnya yang sudah terbiasa dengan darah. Mungkin setiap hari mereka melihat darah. Tapi aku selalu seperti ini. Gemetar.
Kepalaku makin terasa pening dan pusing terasa bumi ini berputar-putar, pandanganku mulai buram dan  menguning. Masih sempat kulihat beberapa orang yang kukenal berlari kearahku. Mungkin letupan senjata Israel itu yang mengundang mereka ke mari. Mereka semakin dekat, namun aku tak sempat menyapa, tubuhku ambruk kepasir. Gelap.
***
Aku meringkuk disudut rumahku. Ah, mungkin tak pantas disebut rumah karena cuma berupa sisa-sisa reruntuhan bangunan yang masih bertahan, yang luput dari serangan pesawat tempur Israel, yang terdengar mendesing melewati pemukiman ini. Namun, bagiku sudah cukup untuk melindungi dari sengatan matahari dan serangan dingin dimalam hari.
Aku masih teringat kejadian dua hari yang lalu. Butiran bening tanpa disuruh meleleh, membentuk larik-larik jejak dipipiku. Kini aku tinggal sendiri. Salim adikku, satu-satunya keluarga yang aku miliki, juga telah pergi meninggalkanku. Abi dan Umi telah lama meninggalkan kami. Mereka rela menghadang peluru yang menerjang, untuk menghalangi tentara-tentara Israel merebut tanah kelahiran mereka.
“Abbas. Kau harus selalu melindungi Salim adikmu. Kalian harus selalu bersama saling membantu. Untuk menjaga tanah warisan leluhur kita ini...”
“Baik, Umi. Abbas akan selalu menjaga Salim dan tanah kita ini.....” Pesan Umi tiba-tiba mengoyak memori ingatanku satu tahun yang lalu sebelum Umi tiada.
Umi. Ah, Umi. Pasti ia akan sangat marah padaku. Seharusnya aku melindungi Salim. Sesuai janjiku pada Umi. Tapi aku membiarkan adikku meregang nyawa dihadapanku tanpa bisa berbuat apa-apa. Seharusnya aku menjaganya. Aku justru lari mendahului Salim saat tentara Israel itu mengejar. Rasa takut akan kematian membuat aku melupakan janjiku pada Umi. Kenapa? Kenapa aku jadi penakut. Tak seperti Salim dengan gagah berani menghadapi dua tentara Israel itu walau hanya bersenjatakan batu dan kerikil ditangannya.
Kenapa aku juga tak bisa seperti teman-temanku yang lain. Dengan berani melempari tentara Israel dengan batu yang melewati pemukiman ini tanpa takut terkena timah panas. Kenapa darah pahlawan tidak mengalir dalam darahku. Padahal Abi dan Umi adalah pahlawan. Kenapa cuma Salim yang mewarisi darah keberanian. Kenapa aku menjadi pengecut. Kenapa?
Aku tak pantas menjadi seorang lelaki Palestina. Aku hanya pantas menjadi perempuan. Ah, tidak. Tidak. Mungkin menjadi perempuanpun aku tak pantas, disini tak ada perempuan sepenakut diriku. Apakah aku hanya seorang banci, seperti mereka (dunia) yang hanya diam terpana melihat penindasan dinegeri para Nabi ini, membiarkan para Zionis meluluh lantakkan rumah kami, membiarkan anak-anak kehilangan orang tuanya, membiarkan para istri-istri menjadi janda. Kemarin kudengar Israel menembaki kapal diperairan internasional dekat jalur gaza yang mengangkut para relawan yang hendak melewati perbatasan. Didalamnya banyak warga negara dari negara lain. Apakah mereka tetap akan diam? Walaupun warga negara mereka sendiri yang menjadi korban. Oh,sungguh aku tak ingin disebut banci.
“Abbas....” sebuah suara memudarkan kegalauanku, aku menoleh kesumber suara. Faruq yang berdiri dibibir tembok yang hancur tampak tersenyum padaku, ia dengan lincah melewati puing-puing tembok yang berserak bagai tentara yang terlatih menuju kearahku.
“Apa masih teringat Salim?” tanyanya setelah duduk berjajar denganku bersandar didinding tembok.
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh kearahnya. Faruq menghembuskan nafas panjang, terdengar mendesah laksana desau angin sahara.
Faruq merengkuh pundakku. “Sudahlah Abbas. Antum harus mengikhlaskan Salim. Salim pasti lebih bahagia disana” Faruq menatap angkasa, menerawang, tampak gemintang berlomba  memperlihatkan cahayanya ke alam maya pada ini. “ Dan aku yakin, Salim pasti sudah berkumpul kembali dengan Abi dan Umi mu disana.”
Aku pun berharap apa yang dikatakan Faruq benar. Salim lebih bahagia disana. Dari pada disini yang hanya ada perang, darah dan tangis. Aku tak sabar menunggu janji Tuhan akan terlaksana. Israel hancur lebur dengan segala keangkuhan dan kesombongannya.
“Ayo, kita ke masjid. Shalat isya berjamaah...” ajak Faruq menarik tanganku. Dari kejauhan terdengar suara azan yang menggema. Aku tak bisa menolak, walaupun hatiku belum sepenuhnya tenang, tapi aku juga harus melaksanakan kewajibanku sebagai seorang Muslim.
Aku mengiringi langkah Faruq di belakang menuju masjid, begitu juga dengan teman-temanku yang lain, mereka tampak beriringan. Semuanya sudah rapi, berjajar lurus mengisi shaf-shaf yang kosong. Aku dan Faruq berada di shaf yang kedua. Semua beristighfar sebelum melakukan ritual yang dikerjakan lima kali dalam sehari semalam ini.
Boooommmmmm!
Sebuah ledakan terdengar disamping masjid disaat salamku yang kedua. Bumi bergetar. Namun tak cukup membuat masjid tempat kami shalat hancur. Aku kaget, begitu juga dengan Faruq dan yang lain. Ya Allah, apa yang terjadi? Apa tentara Israel kembali menyerang?
Aku berlari keluar tanpa sempat berdoa mengiringi langkah Faruq yang telah mendahuluiku. Di belakangku, yang lain juga melakukan hal sama mencari sumber suara. Semuanya menghambur. Asap hitam membumbung ke udara, pasir dan debu menjadi satu  membentuk gumpalan-gumpalan pekat di dekat ledakan, sehingga jarak pandang kami terbatas.
Dari kejauhan kulihat temaram gumpalan-gumpalan cahaya dari tank-tank Israel merangsek cepat menuju pemukiman kami. Melumat apa yang mereka lewati dengan angkuh.

“Israel menyerang.....” teriak sebuah suara di belakangku. Sekejap semuanya telah menghambur dari halaman masjid. Begitu juga dekat Faruq sudah lenyap dari sisiku. Sementara aku masih mematung di halaman masjid. Aku panik. Apa yang harus kulakukan?
Tank-tank Israel telah memasuki pemukiman, menembaki bangunan-bangunan yang masih berdiri untuk diluluh lantakkan. Tentara-tentara yang mengiringi badan besi itu, juga tak mau kalah, memuntah amunisi tanpa arah, menerjang apa yang ada dihadapannya.
Semua panik. Para wanita dan anak-anak berlarian tanpa arah, mencoba menyelamatkan diri dari amukan para zionis. Para lelaki tampak melakukan perlawanan. Baku tembak pun terjadi. Aku semakin panik. Aku ingin lari bersembunyi, tapi hati kecilku melarang melakukan itu.
“Abbas..., kalau kamu lari, kamu sama saja seperti mereka. Banci”
“Aku tak suka disebut banci....”
“Kalau kamu tak ingin disebut banci. Lawan para Israel biadab itu....”
Tubuhku terasa gemetar. Keringat dingin mulai menembus pori-poriku. Terasa gerah. Kukumpulkan keberanianku. Aku ingin melawan. Aku tak ingin disebut banci.
Boommm!!
Sebuah ledakan kembali mendarat di belakangku. Aku terjerembab menimpa pasir. Seketika rasa perih mendera di punggungku. Berdarah. Namun cuma luka kecil. Terkena serpihan ledakan.
“Abbas! Berlindung! Berlindung!” Faruq berteriak di balik gugusan tembok yang hancur, mengayun-ayunkan tangannya agar aku menuju ke arahnya. Aku bangkit, walau rasa nyeri semakin terasa perih. Aku berlari setengah membungkuk, seperti yang dilakukan para pejuang saat perang untuk menghindari terjangan peluru di udara. Dengan susah payah, akhirnya sampai juga aku di sisi Faruq.
Ya Allah. Ternyata Faruq memegang senjata. Aku tak tahu jenis senjatanya. Sesekali ia membalas tembakan tentara Israel, dan kembali merunduk, berlindung di balik tembok. Ia tampak mahir menggunakan seperti sudah terlatih. Dari mana ia mendapatkan senjata itu? Apakah ia salah satu anggota Hamas, kelompok pejuang yang paling dicari Israel. Ah, bukan saatnya mencari tahu. Yang penting saat ini, bagaimana untuk bertahan.
“Kamu bisa menembak?” Faruq tiba-tiba bertanya. Sekilas ia menatapku, kemudian matanya kembali tertuju kedepan, mengawasi tentara Israel yang semakin dekat ke arah kami. Suara peluru-peluru yang merobek udara terdengar berdesing memekakkan ditelinga. Ditingkahi dentuman-dentuman bom.
Aku menggeleng menjawab pertanyaan Faruq. Mana mungkin aku bisa menembak, memegangnya saja aku tak pernah.
“Pegang ini....” Faruq tiba-tiba menyerahkan senjata di tangannya kepadaku. Aku meraihnya, walau tak mengerti apa maksudnya menyerahkannya padaku.
“Tembak tentara Israel...” lanjutnya lagi.
“Tapi...”
Faruq sudah menjauh dari sampingku. Sepertinya ia ingin mengambil senjata yang tergeletak didekat tubuh yang tewas bersimbah darah tak jauh dari tempat kami berlindung. Belum sempat tangannya meraih senjata. Croooossss....! Darah segar muncrat dari kepalanya ditembus timah panas Israel. Tubuhnya roboh, menggelinjang, meregang nyawa, persis seperti yang kulihat pada Salim adikku.
Aku tak sanggup berteriak melihat semuanya, mulutku terasa terkunci. Tubuhku semakin gemetar memeluk senjata di tangan.
“Tembak tentara Israel...” Kalimat terakhir yang diucapkan Faruq seakan kembali terdengar di telinga. Bayangan Abi, Umi, Salim, dan Faruq yang melintas seolah merayu untuk membangkitkan keberanianku.
Kuarahkan moncong senjata ke depan, mencari sasaran para Zionis. Senjata yang kupegang bergetar, mengikuti irama dari tubuhku. Namun kucoba untuk menguasai keadaan. Agar tenang.
“Aku harus berani..... aku harus berani!” Kuyakinkan diriku sendiri.
Aku melihat sasaran di depan mata seorang tentara Israel mendekat. Kutarik pelatuk dengan jari telunjuk tangan kananku seperti yang kulihat saat Faruq menggunakannya tadi.
Doooorrrr!
Sebuah peluru dari senjata yang kupegang meluncur deras, menuju sasaran di depan. Tubuhku sedikit terdorong ke belakang karena guncangan. Namun sayang peluru meleset, karena senjata yang kupegang tidak stabil karena getaran tubuhku. Tentara yang tadi kubidik kaget, tak menyangka masih ada orang di balik tembok ini. Ia membalas tembakan, menghujaniku dengan senjata otomatisnya. Aku hanya bisa bertahan tanpa bisa membalas tembakannya. Keberanianku sudah sepenuhnya tumbuh, semangat jihadku kini telah muncul. Kupegang senjata kuat-kuat, tak ada lagi getar terasa.
Suara tembakan berhenti menghujaniku. Mungkin saatnya aku membalas, paling tidak aku bisa membunuh satu dari mereka. Betapa kagetnya, saat aku berbalik hendak kembali menembak, sebuah moncong senjata tiba-tiba menempel di dahiku. Ah, tidak, ternyata tentara yang tadi menembaki sudah ada dihadapanku. Ia tampak menyeringai sambil tertawa sinis. Mungkin kematian sebentar lagi akan datang menjemputku, anehnya aku tidak lagi gemetar, seakan-akan sudah siap.
“Rupanya kamu masih hidup.....” seru tentara itu menatapku tajam. Todongan senjatanya semakin kuat, membuat dahiku terasa sakit. “Kukira kamu sudah mati kemarin karena ketakutan....”
Rupanya ia adalah tentara Israel yang kemarin menembak adikku, dan ia masih ingat dengan wajahku. Genggamanku terasa semakin kuat memegang senjata. Bayangan Salim saat meregang nyawa kembali melintasi pikiranku.
“Tapi kali ini aku tak akan memberimu ampun lagi. Kau akan mati....” ia menyeringai lebar penuh kebencian menatapku. Gigi-giginya bergemeletuk. Ia bersiap menarik pelatuknya.
Kukumpulkan seluruh tenagaku yang tersisa. Mata kami saling bertabrakan tajam. “Mungkin aku akan mati. Tapi kamu juga akan mati....” Kukebaskan senjata yang kupegang dengan sekuat tenaga. Tentara itu kaget tak menyangka aku masih bisa melakukan perlawanan. Ia terhuyung ke belakang. Ini kesempatanku untuk...
Dooorrr!
Kutembakan senjata ketubuhnya. Tepat menghujam ke dadanya, seperti ia menembak Salim. Ia  semakin terhuyung. Darah segar membasahi seragam. Tubuhnya terhempas. Di luar dugaanku ia masih sempat menarik pelatuknya.
Dooorrrrrr!!!
Timah panas menembus dadaku. Senjataku terlepas. Replik memegang dada. Warna merah menghiasi telapak tanganku. Tubuhku tumbang ke bumi.
Kurasakan tubuhku mulai terasa panas. Keringat dingin menghiasi pori-pori tubuhku. Pandanganku mulai kabur. Kulihat samar-samar bayangan Abi, Umi, Salim, Faruq melambai-lambaikan tangannya. Aku ingin menggapai mereka, namun tak bisa.
Sesosok tubuh berpakaian putih, tiba-tiba sudah ada di hadapanku, wajahnya putih bersih, senyum indah terlukis di wajahnya yang tampan. Ia ingin menjemputku. Kurasakan ada sesuatu yang ditarik dari tubuhku, rasanya sakit tiada tara, bagai duri berserabut yang ditarik paksa dari tubuhku. Sakit. Perih. Aku berteriak kesakitan. Ia tak peduli. Ia  tetap melaksanakan tugasnya dengan wajah yang terus tersenyum. Kalimat Syahadat mengakhiri rasa sakitku.
Aku melayang ke udara mengikuti sosok putih yang membawaku. Aku masih bisa melihat tubuhku yang terbujur kaku bersimpah darah dibumi. Apakah ini yang disebut mati?. Aku semakin menjauh, menembus awan-awan yang berarak, menghampar dilangit biru.
Abi, Umi, Salim, dan Faruq tampak tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tak pernah menyangka akan bertemu mereka disini, ditempat terindah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku bisa berkumpul kembali dengan keluargaku, serta teman-teman yang telah lama berada di sini. Tak ada lagi tangis, tak ada lagi darah. Semua tampak bahagia. Kini kami bebas menari di atas langit Gaza. Langit yang selalu menangis menyaksikan bumi penuh darah.

Barabai, 6 Juni 2010

Penulis : Muhammad Saleh
By. Annida

Pasang Iklan Gratis

Powered byEMF Forms Online
Report Abuse
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...